johanes_ogenk_bdg@yahoo.com ozzychastello
0

SIWAK

 SIWAK

Siwak( Salvadora persica )
Penggunaan kayu siwak (Salvadora persica) telah dikenal semenjak berabad-abad lalu, terutama oleh bangsa Arab kuno yang hingga sekarang masih digunakan sebagai alat kebersihan mulut. Faktor sosial dan agama menjadi pendorong utama penggunaan kayu siwak (Salvadora persica) terutama bagi masyarakat muslim. Suatu studi komparatif periodontal treatment yang dilakukan terhadap pengguna siwak dengan non pengguna siwak menunjukkan bahwa tingkat masyarakat pengguna siwak memiliki level periodontal treatment yang lebih rendah dibandingkan masyarakat non pengguna siwak (Al-Lafi dan Ababneh, 1995).
Penelitian tentang analisa kandungan batang kayu siwak kering (Salvadora persica) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% kemudian dilanjutkan dengan ether lalu diteliti kandungannya melalui prosedur kimia ECP (Exhaustive Chemical Procedure) menunjukkan bahwa siwak mengandung zat-zat kimia seperti : trimetilamin, alkaloid yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin C, serta sejumlah kecil tannin, saponin, flavenoid dan sterol. (El-Mostehy, et. al., 1995). Ekstrak siwak juga menunjukkan adanya properti antimikrobial terutama antibakterial yang sangat efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri dan antifungal (al-Lafi dan Ababneh, 1995; Darout et. al., 2000).
Darout dkk. (2000) melaporkan bahwa komponen kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh dalam menghilangkan plak dan mereduksi virulensi bakteri periodontopathogenic. Kandungan anionik alami dalam siwak dipercaya sebagai antimikrobial efektif di dalam menghambat dan membunuh mikrobial. Seperti Nitrat dilaporkan mempengaruhi transpor aktif porline pada Eschericia coli dan terbukti ampuh pula di dalam menghambat fosforilasi oksidatif dan pengambilan oksigen Pseudomonas aureginosa dan Staphylococcus aureus. Hipotiosianat menunjukkan bereaksi dengan grup sulfihidril dalam enzim bakteri yang dapat menyebabkan kematian bakteri.
Zat antimikrobial merupakan zat yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme (Boyd and Marr, 1980). Al-Lafi dkk (1995) telah menguji aktivitas antibakterial dari kayu siwak untuk menghambat beberapa bakteri mulut yang aerob dan anaerob. Menurut hasil penelitian Gazi dkk. (1987), ekstrak kasar kayu siwak yang dijadikan cairan kumur dan dikaji sifat-sifat antiplaknya beserta efeknya terhadap bakteri penyusun plak menyebabkan penurunan drastis bakteri gram negatif batang. Almas (2003) meneliti efektifitas ekstrak siwak 50% dibandingkan dengan CHX (Chlorhexidine Gluconate) 0,2% pada dentin manusia secara SEM (Scanning Electrony Microscopy) menunjukkan bahwa ekstrak siwak 50% memiliki hasil yang sama dengan CHX 0,2% di dalam perlindungan dentin, namun ekstrak siwak 50% lebih dapat menghilangkan smear layer pada dentin dibandingkan CHX 0,2%.
Streptococcus mutans merupakan bakteri patogen pada mulut yang merupakan agen utama penyebab timbulnya plak, gingivitis dan caries gigi (Lee et al., 1992). Bakteri ini diujikan untuk melihat efektifitas ekstrak serbuk kayu siwak terhadap bakteri patogen mulut. Sedangkan Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi seperti pada jerawat, bisul, pneumonia dan lainnya (Supardi dan Sukamto, 1999). Penulis sengaja menggunakan bakteri Staphylococcus aureus untuk melihat kemampuan ekstrak serbuk kayu siwak terhadap bakteri patogen pada kulit dan luka ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan uji antibakterial ekstrak serbuk kayu siwak (Salvadora persica) yang diekstrak dengan menggunakan metode Fluida Super Critis. Hasil ekstrak dengan metode Fluida Super Critis ini dipercaya memiliki kemurnian yang lebih dibandingkan dengan metode konvensional yang selama ini sering digunakan. Hasil ekstraksi tersebut diuji dengan metode difusi lempeng agar dengan mengukur diameter zona terang (Clear zone) yang mana hasil pengukuran merupakan respon penghambatan pertumbuhan yang akan diklasifikasikan menurut Ahn dkk. (1994).
1.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh ekstrak serbuk kayu siwak (Salvadora persica) terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus dan besar daya hambat ekstrak serbuk kayu siwak (Salvadora persica) terhadap bakteri S. mutans dan S. aureus.
1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi daya hambat ekstrak serbuk kayu siwak (S. persica) yang terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus.
1.4. Manfaat

Ekstrak serbuk kayu siwak (Salvadora persica) mengandung bahan-bahan kimiawi yang dapat menekan aktivitas mikrobial dan menghambat pertumbuhannya. Penelitian daya hambat ekstrak serbuk kayu siwak (Salvadora persica) terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans yang patogen terhadap mulut, dapat menunjukkan kemampuan ekstrak serbuk kayu siwak sebagai salah satu alternatif zat antibakterial yang dapat dikembangkan sebagai komoditas oral cleaner device (alat pembersih mulut) yang higinis dan efektif dalam mencegah periodontal disease.
Penelitian terhadap Staphylococcus aureus yang merupakan patogen pada saluran pernapasan, kulit dan luka dapat pula menunjukkan bahwa ekstrak serbuk kayu siwak bukan hanya efektif sebagai komponen antibakterial mulut, namun juga efektif sebagai antibakterial yang memiliki spektrum lebih luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siwak (Salvadora persica)
2.1.1. Sejarah Penggunaan Siwak

Penggunaan alat-alat kebersihan mulut telah dimulai semenjak berabad-abad lalu. Manusia terdahulu menggunakan alat-alat kebersihan yang bermacam-macam seiring dengan perkembangan sosial, teknologi dan budaya. Beraneka ragam peralatan sederhana dipergunakan untuk membersihkan mulut mereka dari sisa-sisa makanan, mulai dari tusuk gigi, batang kayu, ranting pohon, kain, bulu burung, tulang hewan hingga duri landak. Diantara peralatan tradisional yang mereka gunakan dalam membersihkan mulut dan gigi adalah kayu siwak atau chewing stick. Kayu ini walaupun tradisional, merupakan langkah pertama transisi/peralihan kepada sikat gigi modern dan merupakan alat pembersih mulut terbaik hingga saat ini. (El-Mostehy, 1998).
Miswak (Chewing Stick) telah digunakan oleh orang Babilonia semenjak 7000 tahun yang lalu, yang mana kemudian digunakan pula di zaman kerajaan Yunani dan Romawi, oleh orang-orang Yahudi, Mesir dan masyarakat kerajaan Islam. Siwak memiliki nama-nama lain di setiap komunitas, seperti misalnya di Timur Tengah disebut dengan miswak, siwak atau arak, di Tanzania disebut miswak, dan di Pakistan dan India disebut dengan datan atau miswak. Penggunaan chewing stick (kayu kunyah) berasal dari tanaman yang berbeda-beda pada setiap negeri. Di Timur Tengah, sumber utama yang sering digunakan adalah pohon Arak (Salvadora persica), di Afrika Barat yang digunakan adalah pohon limun (Citrus aurantifolia) dan pohon jeruk (Citrus sinesis). Akar tanaman Senna (Cassiva vinea) digunakan oleh orang Amerika berkulit hitam, Laburnum Afrika (Cassia sieberianba) digunakan di Sierre Leone serta Neem (Azadirachta indica) digunakan secara meluas di benua India. (Almas, 2003).
Meskipun siwak sebelumnya telah digunakan dalam berbagai macam kultur dan budaya di seluruh dunia, namun pengaruh penyebaran agama Islam dan penerapannya untuk membersihkan gigi yang paling berpengaruh. Istilah siwak sendiri pada kenyatannya telah umum dipakai selama masa kenabian Nabi Muhammad yang memulai misinya sekitar 543 M. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda bahwa siwak adalah penerapan terhadap pembersihan gigi dan dicintai Allah. Beliau menambahkan, “Bila kamu membersihkan mulutmu berarti kamu menghormati Allah, dan saya diperintahkan Allah untuk bersiwak karena Allah telah mewahyukan kepada saya.” Kepercayaan Nabi memandang kesehatan mulut yang baik amatlah besar, sehingga beliau senantiasa menganjurkan pada salah seorang isterinya untuk selalu menyiapkan siwak untuknya hingga akhir hayatnya. (Khoory, 1989)
Siwak terus digunakan hampir di seluruh bagian Timur Tengah, Pakistan, Nepal, India, Afrika dan Malaysia, khususnya di daerah pedalaman. Sebagian besar mereka menggunakannya karena faktor religi, budaya dan sosial. Ummat Islam di Timur Tengah dan sekitarnya menggunakan siwak minimal 5 kali sehari disamping juga mereka menggunakan sikat gigi biasa. Erwin-Lewis menyatakan bahwa pengguna siwak memiliki relatifitas yang rendah dijangkiti kerusakan dan penyakit gigi meskipun mereka mengkonsumsi bahan makanan yang kaya akan karbohidrat. (Khoory, 1989)
 2.1.2 Klasifikasi Tanaman Siwak (Salvadora persica)

Klasifikasi tanaman Salvadora persica menurut Tjitrosoepomo (1998) adalah sebagai berikut :
Divisio : Embryophyta
Sub Divisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledons
Sub Class : Eudicotiledons
Ordo : Brassicales
Family : Salvadoraceae
Genus : Salvadora
Spesies : Salvadora persica





2.1.3 Morfologi dan Habitat Tanaman Siwak (Salvadora persica)


Siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting tumbuhan Salvadora persica yang kebanyakan tumbuh di daerah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Siwak berbentuk batang yang diambil dari akar dan ranting tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari 1 kaki sebagaimana pada gambar 2.1. Jika kulitnya dikelupas berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih. Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas. (Al-Khateeb, 1991).
Siwak berfungsi mengikis dan membersihkan bagian dalam mulut. Kata siwak sendiri berasal dari bahasa arab ‘yudlik’ yang artinya adalah memijat (massage). Siwak lebih dari sekedar sikat gigi biasa, karena selain memiliki serat batang yang elastis dan tidak merusak gigi walaupun di bawah tekanan yang keras, siwak juga memiliki kandungan alami antimikrobial dan antidecay system. Batang siwak yang berdiameter kecil, memiliki kemampuan fleksibilitas yang tinggi untuk menekuk ke daerah mulut secara tepat dan dapat mengikis plak pada gigi. Bentuk batang siwak dapat dilihat pada gambar 2.2. Siwak juga aman dan sehat bagi perkembangan gusi. (El-Mostehy et al., 1991).

2.1.4. Kandungan Kimia Batang Kayu Siwak
 
Al-Lafi dan Ababneh (1995) melakukan penelitian terhadap kayu siwak dan melaporkan bahwa siwak mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri, mengikis plaque, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi. Siwak memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat, meliputi :
- Antibacterial Acids, seperti astringents, abrasive dan detergent yang berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi, menghentikan pendarahan pada gusi. Penggunaan kayu siwak yang segar pertama kali, akan terasa agak pedas dan sedikit membakar, karena terdapat kandungan serupa mustard yang merupakan substansi antibacterial acid tersebut.
- Kandungan kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bicarbonate, Fluorida, Silika, Sulfur, Vitamin C, Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa mineral lainnya yang berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak sebagai bahan penyusun pasta gigi.
- Minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap.
- Enzim yang mencegah pembentukan plak yang merupakan penyebab radang gusi dan penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.
- Anti Decay Agent (Zat anti pembusukan) dan Antigermal System, yang bertindak seperti Penicilin menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut merangsang produksi saliva, dimana saliva sendiri merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut.
Secara Kimiawi, kulit batang kayu siwak yang kering bila diekstrak dengan alkohol 80% dan kemudian diekstrak dengan ether, lalu diteliti secara terperinci kandungannya melalui ECP (Exhaustive Procedure Chemicle), maka akan ditemukan zat-zat kimia sebagai berikut : Trimetilamin, chloride, resin, sejumlah besar fluoride dan silica, sulfur dan vitamin C (El-Mostehy et al., 1981).
Menurut laporan Lewis (1982), penelitian kimiawi terhadap tanaman ini telah dilakukan semenjak abad ke-19, dan ditemukan sejumlah besar klorida, fluor, trimetilamin dan resin. Kemudian dari hasil penelitian Farooqi dan Srivastava (1990) ditemukan silika, sulfur dan vitamin C. Kandungan kimia tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan gigi dan mulut dimana trimetilamin dan vitamin C membantu penyembuhan dan perbaikan jaringan gusi. Klorida bermanfaat untuk menghilangkan noda pada gigi, sedangkan silika dapat bereaksi sebagai penggosok. Kemudian keberadaan sulfur dikenal dengan rasa hangat dan baunya yang khas, adapun fluorida berguna bagi kesehatan gigi sebagai pencegah terjadinya karies dengan memperkuat lapisan email dan mengurangi larutnya terhadap asam yang dihasilkan oleh bakteri.
Khoory (1989) menjelaskan bahwa siwak kaya dengan fluorida dan silika, fluorida mengerahkan proses antikariogenik dengan cara sebagai berikut :
1) Perubahan hydroxypatite menjadi fluorapatite yang lebih tahan terhadap acid dissolution.
2) Bercampurnya acidogenic organisme di dalam plak gigi sehingga mengurangi pH dari plak gigi.
3) Membantu memulihkan kembali gigi yang baru rusak.
4) Membentuk efek penghambat terhadap pertumbuhan bakteri pada plak gigi.
Adapun silika berfungsi membantu membersihkan gigi karena silika bekerja sebagai bahan penggosok yang dapat menghilangkan noda. (Khoory, 1989)
 
2.1.5. Kandungan Antimikrobial Siwak Terhadap Periodontal Treatment


El-Mostehy dkk (1995) melaporkan bahwa tanaman siwak mengandung zat-zat antibakterial. Darout et al. (2000) Melaporkan bahwa antimikrobial dan efek pembersih pada miswak telah ditunjukkan oleh variasi kandungan kimiawi yang dapat terdeteksi pada ekstraknya. Efek ini dipercaya berhubungan dengan tingginya kandungan Sodium Klorida dan Pottasium Klorida seperti salvadourea dan salvadorine, saponin, tannin, vitamin C, silika dan resin, juga cyanogenic glycoside dan benzylsothio-cyanate. Hal ini dilaporkan bahwa komponen anionik alami terdapat pada spesies tanaman ini yang mengandung agen antimikrobial yang melawan beberapa bakteri. Nitrat (NO3-) dilaporkan mempengaruhi transportasi aktif porline pada Escherichia coli seperti juga pada aldosa dari E. coli dan Streptococcus faecalis. Nitrat juga mempengaruhi transport aktif oksidasi fosforilasi dan pengambilan oksigen oleh Pseudomonas aeruginosa dan Stapyhylococcus aureus sehingga terhambat.
Komponen anionik antibakterial lainnya terdapat pada beberapa spesies tanaman adalah sulfat (SO42-), klorida (Cl-) dan tiosianat (SCN-). Tiosianat (SCN-) bertindak sebagai substrat untuk laktoperoksidase untuk membangkitkan hipotiosianit (OSCN-) dengan keberadaan hidrogen peroksida. OSCN- telah ditunjukkan bereaksi dengan kelompok sulfahidril di dalam enzim bakteri yang berubah menjadi penyebab kematian bakteri. (Darout et al., 2000)
Menurut hasil penelitian Gazi et al. (1987) ekstrak kasar batang kayu siwak pada pasta gigi yang dijadikan cairan kumur, dikaji sifat-sifat antiplaknya dan efeknya terhadap komposisi bakteri yang menyusun plak dan menyebabkan penurunan bakteri gram negatif batang.
Almas (2002) meneliti perbandingan pengaruh antara ekstrak siwak dengan Chlorhexidine Gluconate (CHX) yang sering digunakan sebagai cairan kumur dan zat anti plak pada dentin manusia dengan SEM (Scanning Electron Microscopy). Almas melaporkan bahwa 50% ekstrak siwak dan CHX 0,2% memiliki efek yang sama pada dentin manusia, namun ekstrak siwak lebih banyak menghilangkan lapisan noda-noda (Smear layer) pada dentin.
Sebuah penelitian tentang Periodontal Treatment (Perawatan gigi secara berkala) dengan mengambil sampel terhadap 480 orang dewasa berusia 35-65 tahun di kota Makkah dan Jeddah oleh para peneliti dari King Abdul Aziz University Jeddah, menunjukkan bahwa Periodontal Treatment untuk masyarakat Makkah dan Jeddah adalah lebih rendah daripada treatment yang harus diberikan kepada masyarakat di negara lain, hal ini mengindikasikan rendahnya kebutuhan masyarakat Makkah dan Jeddah terhadap Periodontal Treatment. (Al-Khateeb, 1991).
Penelitian lain dengan menjadikan serbuk (powder) siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi dibandingkan dengan penggunaan pasta gigi tanpa campuran serbuk siwak menunjukkan bahwa prosentase hasil terbaik bagi kesehatan gigi secara sempurna adalah dengan menggunakan pasta gigi dengan butiran-butiran serbuk siwak, karena butiran-butiran serbuk siwak tersebut mampu menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih bersarang pada sela-sela gigi. Hal ini yang mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk pasta gigi mereka. WHO (World Health Organization) turut menjadikan siwak sebagai salah satu komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan dibudidayakan. (Al-Khateeb, 1991)
.

2.2. Tinjauan Umum terhadap Zat Antibakterial

Pertumbuhan mikroorganisme dapat dikendalikan melalui proses fisik dan kimia. Pengendalian dapat berupa pembasmian dan penghambatan populasi mikroorganisme. Menurut Pelczar dan Chan (1998), zat antimikrobial adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme melalui mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme. Zat antimikrobial terdiri dari antijamur dan antibakterial. Zat antibakterial adalah zat yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme melalui penghambatan pertumbuhan bakteri. (Boyd and Marr, 1980; Pelczar, 1988).
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih zat antimikrobial kimiawi adalah :
1. Jenis zat dan mikroorganisme
Zat antimikrobial yang akan digunakan harus sesuai dengan jenis mikroorganismenya karena memiliki kerentanan yang berbeda-beda.
2. Konsentrasi dan intensitas zat antimikrobial
Semakin tinggi konsentrasi zat antimikrobial yang digunakan, maka semakin tinggi pula daya kemampuannya dalam mengendalikan mikroorganisme.
3. Jumlah organisme
Semakin banyak mikroorganisme yang dihambat atau dibunuh, maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk mengendalikannya.
4. Suhu
Suhu yang optimal dapat menaikkan efektivitas zat antimikrobial
5. Bahan organik
Bahan organik asing dapat menurunkan efektivitas zat antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme. Hal tersebut karena penggabungan zat dan bahan organik asing membentuk zat antimikrobial yang berupa endapan sehingga zat antimikrobial tidak lagi mengikat mikroorganisme. Akumulasi bahan organik terjadi pada permukaan sel mikroorganisme sehingga menjadi pelindung yang mengganggu kontak antara zat antimikrobial dengan mikroorganisme. (Pelczar, 1998).
Sejak 1935, sejumlah besar agen obat kimia telah dikembangkan. Senyawa kimia tersebut pada umumnya dibuat secara sintesis di laboratorium, sedangkan yang lain dibuat dari hasil sampingan kegiatan metabolisme bakteri atau fungi. Agen obat kimia diberi nama umum Antibiotika. (Volk and Wheeler, 1993). Antibiotika adalah bahan-bahan bersumber hayati yang pada kadar rendah sudah menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jadi, antibiotika merupakan salah satu jenis antibakterial. (Schlegel, 1994).
Kriteria agen obat kimia yang digunakan sebagai kemoterapi adalah sebagai berikut :
1. Toksisitas obat terhadap sel inang harus rendah sementara memusnahkan atau menghambat agen penyakit. Dengan kata lain, obat itu harus menunjukkan toksisitas selektif bagi agen penyakit.
2. Inang harus tidak menjadi alergi (sangat peka) terhadap obat.
3. Organisme tidak boleh dengan mudah menjadi resisten terhadap obat yang digunakan.
4. Obat itu harus mencapai tempat infeksi. (Schlegel, 1994).
 
2.3. Tinjauan Umum Bakteri Streptococcus mutans
 
Klasifikasi S. mutans menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah :
Kingdom : Monera
Divisio : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Lactobacilalles
Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Species : Streptococcus mutans
Streptococcus mutans adalah salah satu jenis dari bakteri yang mendapat perhatian khusus, karena kemampuannya dalam proses pembentukan plak dan karies gigi (Joklik et al., 1980; Nolte, 1982). Bakteri ini pertama kali diisolasi dari plak gigi oleh Clark pada tahun 1924 yang memiliki kecenderungan berbentuk coccus dengan formasi rantai panjang apabila ditanam pada medium yang diperkaya seperti pada Brain Heart Infusion (BHI) Broth sebagaimana pada gambar 2.3, sedangkan bila ditanam di media agar memperlihatkan rantai pendek dengan bentuk sel tidak beraturan (Michalek dan Mc Ghee, 1982).

Michalek dan Mc Ghee (1982) serta Nolte (1982) menyatakan bahwa media selektif untuk pertumbuhan Streptococcus mutans adalah agar Mitis Salivarius, yang menghambat kebanyakan bakteri mulut lainnya kecuali Streptococcus. Penghambatan pertumbuhan bakteri mulut lainnya pada agar Milis Salivarius disebabkan karena kadar biru trypan. Di samping itu, media ini juga mengandung kristal violet, telurit dan sukrosa berkadar tinggi.
Streptococcus mutans yang tumbuh pada agar Mitis Salivarius memperlihatkan bentuk koloni halus berdiameter 0,5 - 1,5 mm, cembung, berwarna biru tua dan pada pinggiran koloni kasar serta berair membentuk genangan di sekitarnya. Seperti bakteri streptococcus lainnya, bakteri ini juga bersifat gram positif, selnya berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 1 mm dan tersusun dalam bentuk rantai. (Michalek dan Mc Ghee, 1982).
Streptococcus mutans tumbuh dalam suasana fakultatif anaerob (Lehner, 1992; Michalek dan Mc Ghee, 1982). Menurut Nolte (1982) dalam keadaan anaerob, bakteri ini memerlukan 5% CO2 dan 95% nitrogen serta memerlukan amonia sebagai sumber nitronen agar dapat bertahan hidup dalam lapisan plak yang tebal.
Streptococcus mutans menghasilkan dua enzim, yaitu glikosiltransferase dan fruktosiltransferase. Enzim-enzim ini bersifat spesifik untuk subtsrat sukrosa yang digunakan untuk sintesa glukan dan fruktan. Pada metabolisme karbohidrat, enzim glikosiltransferase menggunakan sukrosa untuk mensintesa molekul glukosa dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari ikatan glukosa alfa (1-6) dan alfa (1-3) (Michalek dan Mc Ghee, 1982). Ikatan glukosa alfa (1-3) bersifat sangat pekat seperti lumpur, lengket dan tidak larut dalam air. Kelarutan ikatan glukosa alfa (1-3) dalam air sangat berpengaruh terhadap pembentukan koloni Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Ikatan glukosa alfa (1-3) berfungsi pada perlekatan dan peningkatan koloni bakteri ini dalam kaitannya dengan pembentukan plak dan terjadinya karies gigi. (Roeslan dan Melanie, 1988).
2.4. Tinjauan Umum Bakteri Staphylococcus aureus

Klasifikasi S. aureus menurut Bergey dalam Capuccino (1998) adalah :
Kingdom : Monera
Divisio : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphilococcus
Species : Staphilococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram Positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul. (Boyd, 1980), berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur (Todar, 2002) sebagaimana terlihat pada gambar 2.4. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. Dinding selnya mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding selnya. Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus. Asam teikoat mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin. (Boyd, 1980).


Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob, fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease dan lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin alfa, beta, gamma delta dan apsilon. Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin. Enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan makanan terutama yang mempengaruhi saluran pencernaan. Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit dengan tanda-tanda kulit terkena luka bakar. (Boyd, 1980; Schlegel, 1994).
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35o – 37o C dengan suhu minimum 6,7o C dan suhu maksimum 45,4o C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein. (Supardi dan Sukamto, 1999).
Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin, diantaranya :
1. Eksotoksin-a yang sangat beracun
2. Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin, yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah.
3. Toksin F dan S, yang merupakan protein eksoseluler dan bersifat leukistik.
4. Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat di dalam tenunan sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh.
5. Grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana. (Supardi dan Sukamto, 1999).
Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan. (Supardi dan Sukamto, 1999).
2.5. Metode Uji Antibakteria

Konsentrasi minimun penghambatan atau lebih dikenal dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari antibiotika atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba. (Greenwood, 1995)
MIC dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC dari sebuah antibiotika, sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. MIC dari sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitasnya. (Greenwood, 1995).
Metode uji antimikrobial yang sering digunakan adalah metode Difusi Lempeng Agar. Uji ini dilakukan pada permukaan medium padat. Mikroba ditumbuhkan pada permukaan medium dan kertas saring yang berbentuk cakram yang telah mengandung mikroba. Setelah inkubasi diameter zona penghambatan diukur. Diameter zona pengambatan merupakan pengukuran MIC secara tidak langsung dari antibiotika terhadap mikroba. Sensitivitas klinik dari mikroba kemudian ditentukan dari tabel klasifikasi menurut Ahn dkk . (Greenwood, 1995)
 
Tabel 2.1. Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan bakteri (Ahn dkk, 1994 dalam Greenwood, 1995)

Diameter Zona terang Respon hambatan pertumbuhan
…> 20 mm kuat
16-20 mm sedang
10-15 mm lemah
…<> tidak ada
Metode uji antibakterial dan antimikrobial yang lain adalah dengan teknik Tube Dillution Test. Fungsinya untuk mengetahui hasil MIC secara langsung. Metode yang lain adalah metode E-test, yang merupakan metode uji difusi agar yang dengan mudah dan cepat memperoleh hasil MIC. (Greenwood, 1995).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran zona penghambatan dan harus dikontrol adalah :
a. Konsentrasi mikroba pada permukaan medium. Semakin tinggi konsentrasi mikroba maka zona penghambatan akan semakin kecil.
b. Kedalaman medium pada cawan petri. Semakin tebal medium pada cawan petri maka zona penghambatan akan semakin kecil.
c. Nilai pH dari medium. Beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi asam dan beberapa basa kondisi alkali/basa.
d. Kondisi aerob/anaerob. Beberapa antibakterial kerja terbaiknya pada kondisi aerob dan yang lainnya pada kondisi aerob (Greenwood, 1995)
 
Siwak pembawa keridhoan Allah SWT


قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.
(صحيح البخاري)
عَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه قَالَ :كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ، يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.
(صحيح البخاري)

Sabda Rasulullah SAW: “Siwak adalah pensuci mulut dan pembawa keridhoan Allah” (shahih Bukhari)
Dari Hudzaifah ra berkata: “Bahwa Nabi SAW jika bangun dari malam hari, membersihkan mulutnya dengan siwak” (shahih Bukhari)

Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Melimpahkan kepada kita rahasia keluhuran, dan rahasia kebahagiaan, serta menerbitkan untuk kita rahasia kerajaan terluhur dari segenap kerajaan yaitu kerajaan sanubari, yang telah difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam hadits qudsiy :

مَاوَسِعَنِي أَرْضِيْ وَلاَسَمَائِيْ وَلكِنْ وَسِعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ المُؤْمِنِ
“Tidaklah bumi atau langitKu dapat menampung-Ku, tapi hati hamba-Ku yang beriman dapat menampung-Ku”

Tiada akan pernah mampu langit dan bumi untuk menampung rahasia sifat-sifat keluhuran Ilahi kecuali sanubari seorang mukmin, yang meskipun bentuknya sangat kecil namun kerajaannya sangat luas, sehingga disiapkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menampung cahaya Allah, keridhaan Allah, kemuliaan Allah, keluhuran Allah, kasih sayang dan kecintaan Allah, serta segala kemuliaan yang tidak mampu ditampung oleh alam semesta sekalipun, sebagaimana yang talah disampaikan oleh guru kita Al Musnid Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafidh di dalam kitab beliau “Mamlakatul Quluub Wal A’dhaa” , bahwa kerajaan terbesar adalah kerajaan sanubari. Dimana ketika hati kita dipenuhi dengan keluhuran dari sang pembawa semulia-mulia keluhuran, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka hati itu akan terang benderang dan bercahaya, sehingga terbitlah keluhuran dan sirna segala sifat yang hina, maka dengan kehadiran kita di malam hari ini sungguh kita berada di dalam keluhuran dan sedang menaiki tangga-tangga keluhuran, dan selalu berusahalah untuk semakin baik dan teruslah berjuang dalam kehidupan ini, karena kehidupan adalah perjuangan dan sebagai modal untuk mencapai kesempurnaan akhirat. Kehidupan dunia adalah modal terbesar dari Allah subhanahu wata’ala untuk kita mencapai kebahagiaan yang abadi di akhirat. Dan seluruh kenikmatan yang disiapkan dan diberikan oleh Allah kepada kita, kesemuanya akan dipertanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala, apakah digunakan untuk mencapai keluhuran yang kekal atau hanya sekedar terlewatkan untuk memenuhi hawa nafsu saja. Oleh karena itu sebagaimana yang tadi telah disampaikan oleh guru-guru kita bahwa sungguh berat perjuangan hidup ini, yang dipenuhi banyak godaan syaithan, namun banyak pula kemuliaan-kemuliaan seperti kemuliaan majelis ta’alim, majelis dzikir, majelis shalawat dan lainnya, yang kesemua itu merupakan rahasia kemuliaan tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus kita panut. Namun kita juga harus waspada terhadap diri kita, yang mana kita sering menghadiri majelis-majelis mulia dengan harapan untuk membersihkan hati kita, maka setelah keluar dari majelis tersebut kita harus membenahi dan menguatkan diri dari godaan syaithan yang terus mengajak manusia kepada kehinaan, yang selalu mengajak manusia untuk memperhatikan pada hal-hal yang fana dan membuat kita melupakan hal-hal yang kekal dan abadi.
Hadits yang kita telah kita baca tadi terdapat banyak riwayat di dalam Shahihul Bukhari, yaitu hadits mengenai siwak. Kita ketahui siwak adalah sesuatu yang sangat kecil bentuknya yang lebih kecil atau hanya sebesar ibu jari saja, namun hal tersebut (siwak) membuka sesuatu yang paling berharga dalam sepanjang alam semesta ini tercipta hingga alam ini berakhir dan berlanjut dengan kehidupan di alam yang abadi, hal itu adalah keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari dimana ketika penduduk surga telah memasuki surga dan menikmati seluruh kenikmatan surga, kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :

 يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
“Wahai penghuni surga!, mereka menjawab, “Kami memenuhi panggilan-Mu wahai Rabb. Seluruh kebaikan hanya ada pada kedua tangan-Mu.”, kemudian Allah berfirman: “Apakah kalian puas terhadap limpahan nikmat-Ku?” mereka menjawab, “Apa yang membuat kami tidak ridho terhadap-Mu wahai Rabb, padahal Engkau telah memberikan kepada kami kenikmatan yang tidak Engkau berikan kepada seorangpun dari makhluk-Mu.” Allah berfirman: “Maukah kalian Aku berikan kenikmatan yang lebih afdhal daripada kenikmatan itu”?, mereka menjawab, “Wahai Rabb, kenikmatan manakah yang lebih afdhal daripada kenikmatan itu?” Allah berfirman: “Aku akan limpahkan keridhoan-Ku kepada kalian, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selama-lamanya”.

Maka keridhaan Allah adalah hal yang paling berharga bahkan dari surga sekalipun dan kenikmatan-kenikmatan dia dalamnya. Dan ternyata rahasia keluhuran ridha Allah itu pun tersimpan dalam sebatang siwak, sebagaimana yang telah disabdakan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :

السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb (Allah). ( shahih bukhari )”

Maka siwak tidak hanya membersihkan mulut, karena jika hanya untuk membersihkan mulut bisa menggunakan sikat gigi seperti zaman sekarang ini, yang bahkan mungkin lebih membersihkan daripada siwak. Namun yang dimaksud dalam hadits tersebut siwak tidak hanya membersihkan mulut saja namun juga membersihkan dosa yang ada di mulut, sebagaimana mulut juga melakukan perbuatan dosa seprti mencaci, mengumpat dan lainnya maka dosa-dosa itu akan terbersihkan dengan siwak, sebagaimana kelanjutan dari hadits tersebut bahwa siwak juga membawa kepada kerihdaan Allah subhanahu wata’ala. Maka siwak merupakan hal yang sangat agung dari sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang meskipun tampaknya sangat remeh dan sepele. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sayyidina Abi Hudzaifah ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bangun di malam hari maka beliau menggunakan siwak Dan kalimat يَشُوْصُ (menggosok ) dalam hadits tersebut sebagaimana yang dijelaskan di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari maksudnya yaitu menggunakan siwak dengan memutarkan pada gigi bagian atas dan bawah, di bagian kiri atau pun kanan untuk membersihkannya. Namun secara ringkas adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai hampir semua perbuatan dengan bersiwak, hingga disebutkan bahwa siwak adalah akhir sunnah beliau saat beliau dalam keadaan sakaratul maut, dimana beliau tidak menghembuskan nafas yang terakhir yang di saat itu beliau berada di pangkuan sayyidah Aisyah Ra lantas beliau melirik pada siwak yang dipegang oleh saudara lelaki sayyidah Aisyah Ra, maka melihat hal tersebut sayyidah Aisyah Ra berkata : “Apakah engkau menginginkan siwak wahai Rasulullah”, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangguk, kemudian sayyidah Aisyah meminta siwak yang dipegang oleh saudara lelakinya lalu membersihkannya dan kemudian disiwakkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah bersiwak, beliau shallallahu ‘alaihi wasalla menunjuk ke langit dan berkata : فِي الرَّفِيقِ اْلأَعْلَى (Menuju Teman (Kekasih) Yang Maha Tinggi), kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir. Maka dijelaskan bahwa siwak adalah sunnah Rasulullah yang terakhir dilakukan oleh beliau sebelum wafat. Maka selayaknya bagi kita untuk selalu menggunakan siwak dan tidak meninggalkannya dalam kehidupan kita. Juga dijelaskan bahwa siwak adalah sebagaiسلاح المؤمن (senjata seorang mukmin) maka jadikanlah siwak itu selalu bersama kita, karena syaithan tidak suka dengan adanya siwak sehingga sering siwak itu menghilang. Maka diajarkan oleh guru mulia kita untuk memperbanyak siwak, dengan meletakkannya di baju, di kamar, di ruang tamu, di tas dan lainnya sehingga tidak tertipu oleh syaitan.
Demikian yang bisa saya sampaikan, selanjutnya kita berdzikir bersama semoga Allah subhanahu wata’ala memenuhi hari-hari kita dengan keluhuran, menguatkan iman kita dan terus membimbing kita pada jalan keluhuran dan member kekuatan kepada kita untuk selalu mengikuti sunnah nabiNya shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga senantiasa berada dalam keridhaanNya. Dan semoga Allah subhanahu wata’ala menjauhkan segala musibah dari negeri kita dan seluruh wilayah muslimin di dunia dan digantikan dengan limpahan rahmat yang kesemua itu mustahil untuk terjadi kecuali dengan kehendakNya.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا
نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Pada Hadits riwayat Abu Hurairah, meriwayatkan: Rasul Allah (may peace be upon him) berkata: “adalah bahwa saya ( Nabi Muhammad S.A.W bila tidak menjadi beban atau kewajiban saya saya akan memerintahkan mereka untuk menggunakan siwak (tooth-stick) di setiap waktu sholat, dan riwayat lain Menceritakan hadits dari dua imam ,Pada riwayat oleh Abdullah ibn Abbas, bahwa Rasulullah berkata: “menyarankan agar melakukan penyikatan gigi dengan siwak dikarenakan dapat membersihkan mulut dan mendapatkan kenikmatan Allah yaitu pahala “riwayat oleh al – Byhaki dan Al-Bukhari. Dan menurut riwayat Siti Aisyah R.A berkata penyikatan dengan siwak dapat membersihkan gigi dan mulut dan mendapat kenikmatan Allah atau Pahala “diriwayatkan oleh ibn Majah dari abi umamah,

Pendapat Islam terhadap penyikatan gigi dengan siwak :
An-Nawawi berkata ia adalah Sunnah dan tidak wajib dalam kondisi apapun
melalui konsensus dari ulama.
Ibnu al-Kayyim berkata: penyikatan gigi dianjurkan untuk bertindak baik pada saat
puasa dan tidak puasa didalam setiap waktu karena tidak ditetapkan dalam hadis, juga dibutuhkan untuk orang yang berpuasa .

Penyikatan gigi dengan siwak dan pengaruhnya pada kesehatan:

makanan dan minuman yang masuk kedalam mulut, menghubungkan mulut dengan udara luar sehingga banyak resiko kuman masuk dan kuman jenis orogerminal grup seperti staphylococci, streptococci, pneumococcus, lactobacillus, bacilli dan spirochaeta. Kuman ini tidak aktif dalam orang yang sehat, namun dapat menular dan berbahaya jika sisa makanan berada di mulut dan antara gigi sampai terjadi fermentasi kuman yang dimana dapat menyebabkan bau busuk, gigi busuk atau garam pertumbuhan sekitar gigi yang dapat berakibat (dental calculus) atau radang gusi dan penyakit pada gusi. Selain itu, kuman ini dapat berpindah ke daerah-daerah yang jauh di tubuh membuat berbagai infeksi, seperti radang perut, sinusitis atau tracheitis dan dapat menimbulkan abscess di berbagai tempat di dalam tubuh , apalagi ia dapat mengakibatkan pyotoxinemia penuh dengan darah atau kuman yang dapat menyebabkan panas di tubuh . Diketahui bahwa yang paling penting untuk menjaga dalam mulut adalah gigi, sehingga mereka mempunyai fungsi penting dan mereka dapat menjadi penyakit yang besar terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, gigi dilakukan penyikatan “siwaak” dapat mencegah penyakit ini, air liur yang sebenarnya memiliki kandungan garam kental dan jika mereka di permukaan yang jauh dari alam seperti pembersihan gerakan gerakan lidah atau tidak wajar seperti penyikatan gigi, garam ini akan deposit terutama di daerah yang mungkin menjadi pembentukan plak gigi. Kemudian kuman bereaksi dengan sisa makanan, sugars terutama yang ada di mulut, pembentukan asam organik yang larut dengan glazur maka resiko dentine. Membusukkan gigi menjadi lebih besar ketika kelupaan membersihkan mulut dan gigi tetap
Dalam Sunnah itu disebutkan bahwa nabi Mohammad menggunakan sikat dari kayu yang terbuat dari “al-araak” dan araak adalah pohon dari keluarga araakic yang selalu hijau. Ia tumbuh di tempat yang panas di dalam Aseer dan Jeezan Arab Saudi, Mesir, Sudan, Goor Al Saad (dekat Yerusalem), Yaman, Afrika Selatan dan India. Buah-buahan tumbuh di pohon ini; enak dan yg dpt dimakan, ketika ia menjadi masak kayu untuk digunakan menyikat gigi tetap diambil dari bagian akar dan semak kecil
Keajaiban Sunnah Nabi Muhammad dalam perintah menyikat gigi dengan “siwaak”:
Artikel yang ditulis dalam sebuah majalah Jerman (No.4, 1961) (4) oleh ilmuwan Rodat, pemimpin dari lembaga penelitian khusus kuman di Universitas Rostok”saya membaca tentang kayu untuk membersihkan gigi di Arab yang digunakan sebagai sikat gigi dalam sebuah buku yang ditulis oleh sebuah perjalanan yang pernah berkunjung ke Negara mereka, berpikir bahwa tindakan ini menunjukkan bahwa ada usaha untuk dimana orang-orang yang membersihkan gigi dengan menggunakan kayu. pada abad ke 20, maka saya hanya berpikir mungkin ada yang ilmiah rahasia dibalik ini sepotong kayu! Kesempatan datang ketika seorang rekan saya dari Sudan membawa sejumlah tusuk gigi dan saya memulai penelitian saya tentang mereka dengan segera, Jika orang Mulai menggunakan sikat gigi sejak seratus tahun yang lalu, umat Islam telah menggunakan gigi sticks yaitu siwak lebih dari 14 abad.
Dalam penelitian terhadap chemosynthesis jenis kayu araak yang digunakan untuk gigi kita tetap akan memakainya dengan memahami alasan di balik pilihan kenapa Nabi memakai dan menyarankan memakai kayu arak untuk siwak karena juga nabi yang mendapat wahyu Allah dalam setiap dia bicara konfirmasi kandungan yang diambil dari kayu Al-araak yaitu mengandung turf dimana berisi sejumlah empedu dan merupakan zat antiseptik yang dapat membersihkan diteruskan sampai di ulemorrhagia dan memperkuat lambung , juga Kandungan Sinnigrin, sebuah bahan yang sangat kuat dengan bau khas dari kayu yang membantu menghilangkan kuman Pemeriksaan Mikroskopi yang terdapat pada bagian kayu siwak hasil yang didapatkan yaitu silika kristal dan acidosis kapur yang berguna dalam mendapatkan hilangkan noda gigi dan kalkulus. Selain itu, Al-Dr.Tariq Korey menyatakan bahwa ada kandungan khlorida dan silika; ini adalah zat yang merupakan ekstra whitening atau zat khusus untuk memutihkan gigi secara alami, juga kandungan subtansi gummatous yang melindungi email gigi dan dapat mencegah dan melindungi gigi terhadap cariosity atau caries . ini menunjukkan bahwa kandungan vitamin C dan amine mencegah kerusakan pada bagian gigi , dan bahan sulfuric mencegah proses membusukkan gigi atau pengeroposan tulang.




KEBAIKAN & KHASIAT KAYU SUGI / SIWAK

1) MEMBERSIHKAN MULUT.
1) MENJADI SEBAB KEREDHAAN ALLAH.
3) MENYEBABKAN SYAITAN MARAH.
4) ALLAH DAN MALAIKAT MENGASIHI ORANG YANG BERSUGI.
5) MENGUATKAN GUSI.
6) MENGHILANGKAN GELEMA.
7) MEWANGIKAN MULUT.
8) MENGHAPUSKAN SAFRA'(SEJENIS PENYAKIT).
9) MENGUATKAN PANDANGAN MATA.
10) MENGHILANGKAN BAU BUSUK MULUT


Selain daripada semua kelebihan di atas, bersugi adalah SUNNAH RASULULLAH. (Munabbihat Ibni Hajar)


WAKTU YANG SESUAI MENGGUNAAN SUGI:

1) KETIKA MAHU SOLAT.
2) KETIKA MAHU MENGAJI QURAN.
3) KETIKA MAHU BERSAMA ISTERI.
4) KETIKA MAHU TIDUR
5) KETIKA AMBil WUDUK.
6) SELEPAS MAKAN.
7) SELEPAS BANGUN TIDUR.


Setelah kedatangan Islam, Rasulullah SAW. menetapkan penggunaan siwak sebagai sunnah beliau yang sangat dianjurkan, bahkan beliau bersabda :“Seandainya tidak memberatkan ummatku, maka aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu” (Muttafaq ‘alaihi).

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. adalah orang pertama yang mendidik manusia dalam memelihara kesihatan gigi.

Tahukah anda bahwa bersiwak itu penting dalam Islam?
Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW. bersabda, “Jadikan bersiwak itu satu amalan, kerana yang demikian (bersiwak) itu menyihatkan mulut dan merupakan sesuatu yang disukai Yang Maha Pencipta” ( Hadis Riwayat Al-Bukhari ).

“Empat perkara yang menambahkan kecerdasan iaitu meninggalkan percakapan sia-sia, menggunakan miswak, duduk di dalam majlis orang-orang soleh, dan duduk di dalam majlis para ulama”. (Thibbi Nabawi)


Proses pencemaran proton pada gigi
Gigi yang tercemar menjadikan ia mudah menarik logam berat dan bahan berasam untuk melekat kepadanya. Bahan ini akan melekat pada dinding gigi dan membentuk plak (plaque). Plak akan menebal dan menjadi keras. Plak ini sukar dibersihkan secara fizikal seperti mencungkil, menggosok gigi dengan berus gigi dengan ubat gigi dan sebagainya.

Proses Gigi Mendapat Elektron
Gigi yang menerima elektron akan mempunyai getaran asal yang tidak menerima benda asing melekat kepadanya. Ia juga berusaha untuk mengawal aktiviti biotik dan terhindar dari jangkitan kuman. Oleh kerana itu, gigi yang digosok dengan kayu siwak (kayu sugi /Malaysia) mempunyai kemampuan untuk menanggalkan plak lebih baik daripada menyungkil atau memberus. Walaupun anda hanya menggosok beberapa gigi saja, elektron akan tersebar ke gigi lain yang bersebelahan apabila gigi tersebut bersentuhan atau rapat. Plak dibahagian belakang gigi juga akan tertanggal walaupun tidak dicapai oleh kayu siwak.

Dengan hanya menggosok dibahagian depan gigi, bahagian belakangnya juga turut mendapat elektron yang membantu menanggalkan plak dengan sendiri, insyaAllah.Oleh kerana itu, menggosok tidak perlu mencapai keseluruh permukaan gigi termasuk gigi belakang dan geraham belakang. Kecuali jika terdapat renggangan gigi, maka gigi yang renggang tersebut perlu digosok karena elektron tidak mengalir dengan sempurna dari gigi depan.

Berus Gigi Linen atau Plastik
Terdapat berbagai berus gigi atau pembersih gigi di pasaran. Begitu juga dengan ubat gigi. Mereka membuat berbagai teknik dan reka bentuk. Di antara teknik yang digunakan ialah seperti mesin getar, mesin yang memutar berus, pengurut gusi dari getah, pembersih lidah dan sebagainya. Berdasarkan kajian saintifik, memberus dengan berbagai cara menggunakan berus linen atau plastik walaupun berus tersebut dibuat dengan berbagai bentuk yang canggih, sebenarnya tidak akan membantu membersihkan menanggalkan plak dengan sempurna. Berus yang dibuat dari linen atau plastik amat mudah memerangkap bakteri. Itulah sebabnya persatuan doktor gigi menyarankan agar berus gigi diganti setiap DUA bulan sekali! Mungkin anda lihat berus gigi tersebut masih baru dan belum rosak atau berusnya masih keras, tetapi ia boleh membahayakan kesihatan gigi.

Di pasaran dunia dan Malaysia khususnya (termasuk Indonesia) terjadi lonjakan barangan keperluan yang dibuat dari sumber yang haram dan beracun. Berdasarkan pada Panduan Halal Haram yang di keluarkan oleh Consumer Association of Penang (2006),“Lazimnya berus yang dibuat dari bulu babi dilabelkan sebagai ‘Pure Bristle’. Selain berus lukisan, berus cat, berus penggosok sajadah dan songkok, berus gigi dan berus cukur dikhuatirkan mengandung bahan haram ini.”

Di saat umat Islam dilanda kebimbangan mengenai status barang halal, khususnya keperluan dalam menjaga kesihatan mulut, Nabi SAW. telah memberikan satu solusi yang terbaik sejak 1430M yang lalu. Pada zaman nabi telah terdapat berbagai jenis alat pembersih mulut seperti powder, tetapi siwak tetap menjadi pilihan Baginda SAW.


Cara Menggunaan Kayu Sugi atau Siwak.
Orang menggunakan siwak dalam bentuk batang atau stick kayu dengan cara:

1. Batang atau cabang siwak dipotong berukuran pensil dengan panjang 15-20 cm. Stick kayu siwak ini dapat dipersiapkan dari akar, tangkai, ranting, atau batang tanamannya. Stick dengan ukuran diameter 1 cm dapat digigit dengan mudah dan dapat memberikan tekanan yang tidak merosak gusi apabila digunakan.

2. Kulit dari stick siwak ini dihilangkan atau di buang hanya pada bahagian hujung stick yang akan dipakai sahaja.

3. Siwak yang kering akan merosak gusi, sebaiknya direndam dalam air segar selama 1 hari sebelum digunakan. Selain itu, air tersebut juga dapat digunakan untuk kumur-kumur.

4. Bahagian hujung stick siwak yang sudah dihilangkan kulit luarnya digigit-gigit atau dikunyah-kunyah sampai berjumbai seperti berus.

5. Bahagian siwak yang sudah seperti berus digosokkan pada gigi, dan boleh digunakan untuk membersihkan lidah.



0

TENAGA KERJA OUTSORCHING

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:

(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *

I. Pendahuluan
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.

Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2]

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3]

Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5]

Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.


Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:



  1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?


  2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?


  3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?


II. Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]

“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)

Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]

“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:



  • penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);


  • pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    - dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
    - dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
    - merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
    - tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)


  • perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
    perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);


  • perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);


  • hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)


  • hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);


  • bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).


Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]



  • adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;


  • perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;


  • perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;


  • perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.


Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]

IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :

“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]

Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]



  • Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.


  • Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.


  • Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.


  • Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.


Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]

Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]

Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]

Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :



  1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;


  2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;


  3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;


  4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.


V. Perjanjian dalam Outsourcing

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:



  1. Sepakat, bagi para pihak;


  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;


  3. Suatu hal tertentu;


  4. Sebab yang halal.


Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:


1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.

2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.


Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.


Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].


Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.


Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing

Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.

Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]



  1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;


  2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;


  3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.


Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).

Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.


Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.

Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]

VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.

Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.

VIII. Kesimpulan
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.


Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.

Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.


***


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Chandra K. yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga melalui artikel yang telah ditulisnya di atas.


Catatan Kaki:


[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm

[2] ibid

[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006

[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,

[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.

[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.

[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.

[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.

[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.

[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.

[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.

[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003




[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003

[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.

[17] Ibid., hal.6.

[18] Ibid., hal 7.

[19] Ibid., hal.8

[20] Ibid., hal.5

[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia

[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003

[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003

[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003

[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.

0

Undang - Undag tenaga kerja


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



Presiden Republik Indonesia,
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :  a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan
peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja
dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja  dimaksudkan untuk menjamin hak hak
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang  ketenagakerjaan dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh
karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e
perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Page 1 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara
yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan
secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan,
strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai
dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan  kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap,
dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang
dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu  yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap  kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses produksi  barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
Page 2 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat
memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian  antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau  jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk  dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan  bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri
dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang  dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat
kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah  perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan
atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
Page 3 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. 31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan  rohaniah, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi
produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah  kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
 
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
 
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Page 4 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :

a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
 
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas  dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua
pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan
serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia
usaha, baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada
standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
Page 5 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi
pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bi-dang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi  yang bertanggung jawab di  bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri
atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Kepu tusan Menteri.
Pasal 17
Page 6 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam
pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6
(enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan
terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan
melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan
sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin,
dan pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi  kerja dibentuk badan  nasional sertifikasi
profesi yang inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan
acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
Page 7 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak  sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan  sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai  tata cara perizinan  pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk  dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di
luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pela tihan kerja  dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Page 8 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah  Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan  ditujukan ke arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi,
menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun
daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
 
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan  kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penye diaan tenaga  kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
Page 9 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang
dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan
kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang  ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung,
sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
 
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
Page 10 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk
mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan
sistem padat karya, penerapan teknologi  tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja
sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana  dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),  tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya me muat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
Page 11 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah,
badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputu san Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari
tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing
yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga
sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
Page 12 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja  asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
 
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f,
Page 13 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan
pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali  dan/atau diubah, kecuali  atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan
atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu  yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam  bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran  antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan  kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
Page 14 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang
lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali
dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu  yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan  hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu  yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung
jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar  ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Page 15 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang
dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada  perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian
kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi,
maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
Page 16 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud
Page 17 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
dalam ayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi
anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial,
dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama  dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di  tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
Page 18 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan,  menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya  penanggulangan anak yang bekerja di luar
hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor
usaha atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Page 19 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk  6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua  belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2  (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan  dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan
kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Page 20 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
 
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya  jika hal itu harus dilakukan selama waktu
kerja.
  
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam  Pasal 79  ayat (2) huruf   b, c, dan d,  Pasal  80, dan Pasal 82 
berhak mendapat upah penuh. 
  
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari
libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau
dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.  
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar  upah
kerja lembur.      
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat  pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
 
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
 
 Pasal 86
(1)  Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a.   keselamatan dan kesehatan
kerja;                                        
b.   moral dan kesusilaan;
dan                                                     
c.   perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama.
 
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal   diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.   
           
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
Page 21 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.     
              
Bagian Kedua
Pengupahan.
  
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.                              
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.  
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana  dimaksud
dalam ayat (2) meliputi :
a.    upah  minimum;                            
                           
b.    upah  kerja
lembur;                                                      
c.   upah tidak masuk kerja karena berhalangan;     
d.   upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e.   upah karena menjalankan  hak waktu istirahat kerjanya;  
f.     bentuk  dan  cara  pembayaran  upah;                   
                      
g.   denda dan potongan
upah;                                                        
h.   hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
                           
i.    struktur dan  skala pengupahan yang proporsional;        
j.    upah untuk pembayaran pesangon;  dan
k.   upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) 
huruf   a   berdasarkan  kebutuhan  hidup layak dan dengan mem-perhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89
(1)  Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  88  ayat (3)   huruf 
a   dapat  terdiri atas :
a.   upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.   upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
(2) Upah  minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada  
pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi
dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
  
Page 22 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu  membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam  Pasal 89 dapat dilakukan  penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
  
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah
dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan   peraturan  perundang-undangan
yang berlaku.    
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut
batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan  skala upah dengan memperhatikan 
golongan,  jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.        
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem-perhatikan 
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
  
Pasal 93
(1) Upah  tidak  dibayar  apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha
wajib membayar upah apabila :
a.  pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;    
b.  pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c.  pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau
orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia;
d.  pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara;                      
e.  pekerja/buruh  tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan
ibadah yang diperintahkan agamanya;
f.   pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari  pengusaha;
g.  pekerja/buruh  melaksanakan  hak
istirahat;                                        
h.  pekerja/buruh  melaksanakan  tugas  serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha;
dan                                                      
i.   pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf  a sebagai berikut :
Page 23 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
a.   untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100%  (seratus perseratus) dari
upah;
b.   untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus)
dari upah;
c.   untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari
upah; dan
d.   untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari
upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :        
a.   pekerja/buruh menikah, dibayar untuk  selama 3 (tiga) hari;            
b.   menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;                
c.   mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari           
d.   membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;           
e.   isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
f.   suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan               
g.  anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk
selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan   sebagaimana dimaksud  dalam ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,  atau perjanjian kerja
bersama.
  
Pasal 94
Dalam  hal komponen upah  terdiri dari upah pokok dan tunjangan  tetap maka
besarnya  upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
  
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.                      
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan  atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
                                         
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit  atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.
  
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu    2 (dua) 
tahun sejak  timbulnya hak.
                                                                
Pasal 97
Ketentuan  mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan
hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 88,
penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 89,  dan
pengenaan denda  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan
Page 24 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
ayat (3)  diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
  
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan  Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh,
perguruan tinggi, dan pakar.  
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat  Nasional diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi,
Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/
Bupati/Walikota.        
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja
Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Presiden. 
      
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
  
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.         
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
        
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan  bagi pekerja/buruh dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.                
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak-sanakan dengan  memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.   
                     
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.  
(2) Pemerintah,  pengusaha,  dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.         
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Page 25 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
  
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan  memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.   
                                
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui
sarana :                                       
a. serikat pekerja/serikat buruh;     
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. embaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
 
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk  dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
Page 26 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ber-laku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih
wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana  dimaksud dalam ayat  (1) berfungsi sebagai
forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama  bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit  terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Page 27 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh
yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui
setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di
perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka
pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku
sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,  maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan
perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
Page 28 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan secara musya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa
Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah
anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili  pekerja/buruh dalam  perundingan dengan
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan melalui pemungutan suara.
Page 29 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama  dengan pengusaha setelah melampaui jangka
waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti
prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
maka yang berhak mewakili  pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut
untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun  berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat
3 (tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-Page 30 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum  dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat  buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja
bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada
setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan,
selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja
bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam
peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian
kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak
lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat
perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
Page 31 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2)
dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan
perusahaan maka perjanjian kerja bersama  tetap berlaku sampai berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian  kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja
bersama selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan  kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.

Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136
Page 32 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, maka  pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar  pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan
umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota
serikat pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator
dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
Page 33 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok  kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi  pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja
secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok
kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
Page 34 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari  pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak  dan gas bumi, serta
kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock
out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan  perusahaan (lock out);
dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan
penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus
memberikan tanda bukti penerimaan dengan  mencantumkan hari, tanggal, dan jam
penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya  penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
Page 35 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukan apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang
ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik  badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara,  maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan  industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan  industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
Page 36 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian  darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang
Page 37 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih  tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun,
5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
Page 38 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan
kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga
pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan
tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada  keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian,  atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan  rahasia perusahaan yang seharusnya
Page 39 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian  yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) yang  tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan  pengusaha secara langsung,  selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah
tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena
dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan  bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
Page 40 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri  atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam
hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang  pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan
Page 41 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau
bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas  uang pesangon  sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada
program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh
tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar
oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang  dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil
Page 42 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya
karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon  2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak berhak atas uang pesangon sesuai  ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
 
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1),  Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan
hubungan kerjanya.
Page 43 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang
berhubungan dengan ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi
pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadu dan terko-ordinasi.
 
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh  pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
Page 44 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputu-san Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Men-teri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran  laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka  pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Page 45 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,
dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal
78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
Page 46 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal  78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25,
Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal  47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106,
Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau  belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang undang ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Page 47 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor
25 Tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042),
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Page 48 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,

BAMBANG KESOWO
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
Penjelasan  >>>
Page 49 of 49uu13-2003
2/12/2007file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2003\uu13-2003.htm